Menilik Kesenjangan Pada Secangkir Kopi

filosofi kopi - Kota Bandung tidak akan kamil diucapkan tanpa mengeja 'kopi' dan - tentu saja - 'Ridwan Kamil'. Namun, yang menciptakan Bandung lebih layak dicintai ialah uap panas dari bibir segelas americano di sudut-sudut kota, bukan Walikota Yang Terhormat. Jadi, rasanya pantas untuk memulai gibber kota melalui mata penikmat kopi.

Empat puluh empat ribu
Dinas Pariwisata Kota Bandung mencatat bahwa ada 235 kafe di kota Bandung pada tahun 2012 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 11,1% per tahun semenjak 2008. Itu berarti ada 19 kafe gres per tahun, setara dengan setidaknya satu kafe gres setiap bulan . ! Jika diselaraskan dibandingkan dengan yang lain, data sanggup berbagi kebenaran. Bahkan, tidak ada satu pun yang ada di tiga kota di Kota Bandung setiap bulan.

Pertumbuhan yang cepat menyerupai itu memungkinkan alasannya ialah kopi telah menjadi lebih dari tren pasar awal. Selanjutnya, kopi telah menjadi budaya yang menyebar di tingkat komunitas. Pertumbuhan tidak dipecah melalui iklan atau promosi, dan dipisahkan dari ekspresi ke mulut, dari satu sobat ke sobat lainnya. Kopi telah menjadi pengetahuan dan minat yang menuntut gaya hidup wargi paling muda Bandung. Bahkan persinggahan instan akan menciptakan Anda mengerti bahwa Bandung ialah daerah yang sempurna untuk karam dalam kopi pagi.

Namun, pada kenyataannya Anda harus mampir ke ibukota, di mana kopi menjadi fenomena yang lebih komersial. Dengan pertumbuhan yang menyerupai dengan kota Bandung, kafe di Jakarta membedakan diri dari harga kopi yang sulit dimengerti. Dipersenjatai dengan tinjauan media sosial, sebuah kafe di nomor selatan ialah rujukan untuk melengkapi tegukan kopi yang mahal di Jakarta. Kas bahwa kafe terkenal sebagai "rumah brews ramah-saku". Beberapa komentar juga menyatakan bahwa konten tetap berat alasannya ialah harganya terjangkau oleh siswa dan anak sekolah. Benar saja, Anda bisa minum pers Perancis hanya dengan menghabiskan Rp.44.000,00.



Di kota Bandung, hadiah yang sama sanggup diberikan dengan harga sekitar Rp 15.000 - Rp 30.000. Meskipun demikian, perbedaan sanggup dirasionalisasi dengan perbandingan PDRB per kapita Jakarta yang tiga kali lebih tinggi dari Kota Bandung (Badan Pusat Statistik, 2014). Dengan biaya dan daya beli yang lebih tinggi, masuk akal kalau harga kopi di Jakarta lebih tinggi dari kota Bandung.

Tetapi, pers Prancis mengamanatkan empat puluh empat ribu. Sangat?

Kota tanpa Kafein

PDRB per kapita Jakarta pada tahun 2014 ialah sekitar Rp. 174 juta. Dari sana, sanggup dimengerti bahwa penduduk Jakarta menghasilkan Rp. 14,5 juta setiap bulan, atau hampir Rp. 500 ribu per hari. Namun, hanya dengan duduk di Blok M selama 10 menit, Anda akan oke bahwa data tersebut menyesatkan - kalau tidak digabungkan dengan indeks ini, DKI Jakarta mencapai 0,41. Tidak peduli bahwa orang Bandung, penduduk orisinil Jakarta belum tentu bisa menikmati kopi di Jakarta.

Pengalaman permukaan memperlihatkan bahwa kopi ialah kemewahan yang sulit didapatkan kebanyakan orang. Tidak hanya di Jakarta dan Bandung, tetapi juga di hampir semua kota besar di Indonesia.

Ada 11,31% penduduk Indonesia yang hidup di atas jiwa (Badan Pusat Statistik, 2015). Itu berarti mereka hidup dengan upah di bawah $ 25 per bulan, sekitar Rp. 10.500,00 per hari. Apa yang bisa dilakukan dengan sepuluh ribu rupiah dalam satu hari? Lupakan perihal kopi Mandheling, masih banyak hal yang harus dipikirkan besok: dari bunga kredit rumah ke biaya pergi ke pasar, dari kenaikan harga daging sampai pengejaran simpanan, dari naik ke malam. Bahkan untuk dua ribu rupiah kopi sachet, mereka harus menangkapnya dua kali.

Kesulitan menikmati secangkir kopi ialah misteri perihal bagaimana meningkatkan kehidupan orang-orang, sehingga tidak ada yang bersantai di teras kedai sementara yang lain bersikeras pada layanan sipil. Kafe kafe kafe kafe bertemu berjumpa bertemu bertemu bertemu memenuhi kafe kafe kafe kafe kafe kafe kafe kafe kafe, semua penduduk berhak untuk asupan kafein yang cukup dan mata pencaharian dan jalan masuk ke layanan yang layak. Ketidakmampuan untuk memenuhinya dengan tuntutan peningkatan fundamental dalam kehidupan kota, yang tidak bisa diperbaiki hanya dengan dialog 'pintar' atau 'ulet'.

Sayangnya, artikel ini belum sanggup memperlihatkan solusi untuk disparitas kafein yang terjadi di negara ini. Namun, pahamilah bahwa bagi sebagian orang, atau mungkin 28,5 juta orang miskin di Indonesia, kota ini ialah kota tanpa atap yang panas - sebuah kota tanpa kafein, di mana cangkir-cangkir tidak tersentuh alasannya ialah kopi lebih mahal dari cangkir.

Source : DISINI

Jika anda ingin memberi masukan, silahkan kunjungi FANSPAGE kami, jangan lupa like dan share.

0 Response to "Menilik Kesenjangan Pada Secangkir Kopi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel